“Vaksin” Kanker dapat Mengaktifkan Sistem Kekebalan Terhadap Tumor
Table of Contents
Dengan menyuntikkan formulasi baru imunoterapi langsung ke tumor, para ilmuwan membasmi kanker pada 97 persen tikus
Infolabmed. Sistem imun tubuh manusia dipersenjatai dengan adanya sel darah putih yaitu sel T, sel B, sel NK, dan masih banyak lagi yang berguna untuk menargetkan dan membunuh virus, bakteri, dan patogen lainnya. Pada sel kanker menggunakan sinyal tipuan untuk menekan respon imun alami tubuh dengan mengesampingkan sel T sementara sel tumor pada tubuh menjadi tak terkendali.
Selama beberapa dekade, para ilmuwan membuat “vaksin” kanker yang berguna untuk membuat sel imun tubuh yang lemah serta melatihnya untuk menyerang kanker. Sekarang ada sebuah teknik baru dimana ilmuwan dapat menyuntikkan agen penguat imun dalam jumlah yang sangat kecil langsung pada tumor, dan hasilnya ternyata tidak hanya membunuh tumor yang ditargetkan namun dapat membunuh tumor di tempat lainnya juga – setidaknya ini yang terjadi pada tikus.
Dalam sebuah studi pra-klinis yang dipublikasikan di Science Translational Medicine, 90 tikus dengan tumor transplantasi ganda disuntik dengan dua agen imunoterapi, dan pada 87 kasus, semua tanda kanker telah hilang.
Hasil yang sangat menjanjikan ini dilaporkan oleh Ronald Levy di Stanford University School of Medicine, hasil inipun dapat memberikan harapan lebih lanjut bahwa imunoterapi adalah masa depan pengobatan kanker. Alih-alih membombardir tubuh dengan dosis tinggi bahan kimia dan radiasi beracun, kita bisa merekrut sistem imun tubuh kita untuk melawan.
Ada 2 tahap cara kerja vaksin kanker menurut Levy, yaitu tahap pertama dari rangkaian DNA pendek yang disebut oligonukleotida CpG pertama kali akan disuntikkan ke tumor yang ditargetkan. CpG ini adalah sesuatu yang disebut reseptor atau mirip dengan saluran penyambung khusus dimana ia merupakan sejenis protein dari sistem imun tubuh untuk mengenali patogen yang menyerang.
Tahap kedua yaitu dimana injeksi kedua ini mengandung antibodi yang melekat pada reseptor OX40 yang baru diaktifkan dan pada dasarnya mengubah sel T kembali "menyala”. Sebelum aktivitas mereka ditekan, sel T sudah dipastikan akan merespons antigen yang sesuai dengan yang dihasilkan oleh tumor. Dengan dorongan dari vaksin tersebut, sekarang mereka mulai melakukan kegiatannya melawan tumor.
Tikus dalam percobaan Stanford ditransplantasikan dengan tumor limfoma, namun Levy mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa vaksin tersebut mendapatkan hasil yang sama dengan tumor payudara, usus besar, dan melanoma.
Yang lebih mengesankan adalah ada beberapa sel T yang teraktivasi kembali beredar ke seluruh tubuh dan menyerang tumor jauh dari tempat yang ditargetkan. "Ketika kita menggunakan kedua agen ini bersama-sama, kita melihat penghilangan tumor di sekujur tubuh," kata Levy. "Pendekatan ini melewati kebutuhan untuk mengidentifikasi target imun spesifik tumor dan tidak memerlukan pengaktifan sistem imun secara menyeluruh atau penyesuaian sel imun itu sendiri pada pasien."
Levy mengacu pada perawatan kanker imunoterapi lain yang muncul seperti terapi CAR-T, di mana sel T pasien dilepaskan dan diubah secara genetis untuk membawa reseptor antigen buatan khusus untuk jenis kanker pasien tertentu. Dan setelah dilakukan pengecekan ulang , terapi yang menargetkan protein sistem imun spesifik yang memungkinkan sel kanker untuk bersembunyi secara kasat mata atau jelas terlihat. Imunoterapi lain yang menjanjikan menggunakan bakteri listeria adalah sebagai vektor untuk mengantarkan antigen spesifik tumor ke seluruh sistem imun tubuh.
Teknik listeria dikembangkan oleh Yvonne Paterson di University of Pennsylvania School of Medicine dan telah mendapat lisensi dari Advaxis Immunotherapies, yang telah menguji formula vaksinnya pada percobaan manusia fase 3 untuk jenis kanker stadium akhir tertentu. Tim Stanford baru saja mulai merekrut 15 pasien pertamanya.
Lalu didukung dengan adanya email masuk dari Paterson yang menyebutkan makalah “Levy" sebuah studi praklinis yang sangat bagus yang menunjukkan kekuatan untuk memperluas dan mengaktifkan sel T spesifik tumor yang ada sebelumnya yang terakumulasi dalam tumor namun tidak mampu mengendalikan pertumbuhan tumor."
Salah satu kelemahan teknik injeksi langsung, kata Paterson, adalah terbatas pada tumor yang mudah dijangkau.
"Seseorang dapat melihat bagaimana pendekatannya bisa bekerja pada manusia yang setara dengan limfoma, kanker payudara dan juga melanoma, di mana ada tumor yang dapat diakses oleh permukaan," tambah Paterson. "Namun, ada banyak jenis kanker yang mungkin tidak bisa diaplikasikan."
Levy adalah pelopor dalam bidang imunoterapi, mendapatkan persetujuan FDA pada tahun 1997 untuk antibodi yang dirancang laboratorium pertama yang digunakan bersamaan dengan kemoterapi tradisional. Tapi Levy bukanlah orang pertama yang bereksperimen dengan vaksin penguat imun yang menargetkan sel T yang terdekat dengan tumor yang ditargekan.
Cornelis Melief, kepala departemen immunohematology dan transfusi darah di Leiden University Medical Center di Belanda, dirujuk dalam makalah Levy untuk karyanya dengan sel T yang menggunakan formulasi antibodi berbeda. Dalam sebuah email, Melief menyebut pendekatan baru Levy "sangat elegan" , terutama untuk penentuan jenis tumor yang akurat dan kemungkinan efek samping berbahaya seperti respons autoimun.
"Keindahan terapi ini adalah bahwa seseorang tidak perlu mengetahui sifat antigen dalam tumor, dan imunoterapi lokal menghasilkan tindakan terapeutik sistemik berkat sel T yang beredar," tulis Melief. Jika percobaan manusia berhasil, Levy membayangkan satu hari kapan vaksin tersebut dapat disuntikkan ke tumor padat sebelum operasi sehingga sistem kekebalan tubuh dapat diinokulasi melawan penyebaran kanker di tempat lain di tubuh. (Febi / seeker.com)
Selama beberapa dekade, para ilmuwan membuat “vaksin” kanker yang berguna untuk membuat sel imun tubuh yang lemah serta melatihnya untuk menyerang kanker. Sekarang ada sebuah teknik baru dimana ilmuwan dapat menyuntikkan agen penguat imun dalam jumlah yang sangat kecil langsung pada tumor, dan hasilnya ternyata tidak hanya membunuh tumor yang ditargetkan namun dapat membunuh tumor di tempat lainnya juga – setidaknya ini yang terjadi pada tikus.
Hasil yang sangat menjanjikan ini dilaporkan oleh Ronald Levy di Stanford University School of Medicine, hasil inipun dapat memberikan harapan lebih lanjut bahwa imunoterapi adalah masa depan pengobatan kanker. Alih-alih membombardir tubuh dengan dosis tinggi bahan kimia dan radiasi beracun, kita bisa merekrut sistem imun tubuh kita untuk melawan.
Ada 2 tahap cara kerja vaksin kanker menurut Levy, yaitu tahap pertama dari rangkaian DNA pendek yang disebut oligonukleotida CpG pertama kali akan disuntikkan ke tumor yang ditargetkan. CpG ini adalah sesuatu yang disebut reseptor atau mirip dengan saluran penyambung khusus dimana ia merupakan sejenis protein dari sistem imun tubuh untuk mengenali patogen yang menyerang.
Tahap kedua yaitu dimana injeksi kedua ini mengandung antibodi yang melekat pada reseptor OX40 yang baru diaktifkan dan pada dasarnya mengubah sel T kembali "menyala”. Sebelum aktivitas mereka ditekan, sel T sudah dipastikan akan merespons antigen yang sesuai dengan yang dihasilkan oleh tumor. Dengan dorongan dari vaksin tersebut, sekarang mereka mulai melakukan kegiatannya melawan tumor.
Tikus dalam percobaan Stanford ditransplantasikan dengan tumor limfoma, namun Levy mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa vaksin tersebut mendapatkan hasil yang sama dengan tumor payudara, usus besar, dan melanoma.
Yang lebih mengesankan adalah ada beberapa sel T yang teraktivasi kembali beredar ke seluruh tubuh dan menyerang tumor jauh dari tempat yang ditargetkan. "Ketika kita menggunakan kedua agen ini bersama-sama, kita melihat penghilangan tumor di sekujur tubuh," kata Levy. "Pendekatan ini melewati kebutuhan untuk mengidentifikasi target imun spesifik tumor dan tidak memerlukan pengaktifan sistem imun secara menyeluruh atau penyesuaian sel imun itu sendiri pada pasien."
Levy mengacu pada perawatan kanker imunoterapi lain yang muncul seperti terapi CAR-T, di mana sel T pasien dilepaskan dan diubah secara genetis untuk membawa reseptor antigen buatan khusus untuk jenis kanker pasien tertentu. Dan setelah dilakukan pengecekan ulang , terapi yang menargetkan protein sistem imun spesifik yang memungkinkan sel kanker untuk bersembunyi secara kasat mata atau jelas terlihat. Imunoterapi lain yang menjanjikan menggunakan bakteri listeria adalah sebagai vektor untuk mengantarkan antigen spesifik tumor ke seluruh sistem imun tubuh.
Teknik listeria dikembangkan oleh Yvonne Paterson di University of Pennsylvania School of Medicine dan telah mendapat lisensi dari Advaxis Immunotherapies, yang telah menguji formula vaksinnya pada percobaan manusia fase 3 untuk jenis kanker stadium akhir tertentu. Tim Stanford baru saja mulai merekrut 15 pasien pertamanya.
Lalu didukung dengan adanya email masuk dari Paterson yang menyebutkan makalah “Levy" sebuah studi praklinis yang sangat bagus yang menunjukkan kekuatan untuk memperluas dan mengaktifkan sel T spesifik tumor yang ada sebelumnya yang terakumulasi dalam tumor namun tidak mampu mengendalikan pertumbuhan tumor."
Salah satu kelemahan teknik injeksi langsung, kata Paterson, adalah terbatas pada tumor yang mudah dijangkau.
Levy adalah pelopor dalam bidang imunoterapi, mendapatkan persetujuan FDA pada tahun 1997 untuk antibodi yang dirancang laboratorium pertama yang digunakan bersamaan dengan kemoterapi tradisional. Tapi Levy bukanlah orang pertama yang bereksperimen dengan vaksin penguat imun yang menargetkan sel T yang terdekat dengan tumor yang ditargekan.
Cornelis Melief, kepala departemen immunohematology dan transfusi darah di Leiden University Medical Center di Belanda, dirujuk dalam makalah Levy untuk karyanya dengan sel T yang menggunakan formulasi antibodi berbeda. Dalam sebuah email, Melief menyebut pendekatan baru Levy "sangat elegan" , terutama untuk penentuan jenis tumor yang akurat dan kemungkinan efek samping berbahaya seperti respons autoimun.
"Keindahan terapi ini adalah bahwa seseorang tidak perlu mengetahui sifat antigen dalam tumor, dan imunoterapi lokal menghasilkan tindakan terapeutik sistemik berkat sel T yang beredar," tulis Melief. Jika percobaan manusia berhasil, Levy membayangkan satu hari kapan vaksin tersebut dapat disuntikkan ke tumor padat sebelum operasi sehingga sistem kekebalan tubuh dapat diinokulasi melawan penyebaran kanker di tempat lain di tubuh. (Febi / seeker.com)
PENTING : Terimakasih sudah berkunjung ke website Kami. Untuk yang mengambil artikel dari website Kami, dimohon untuk mencantumkan sumber pada tulisan / artikel yang Anda muat. Terimakasih atas kunjungannya.
Baca juga :
- Penuaan Sistem Kekebalan Tubuh Terkait Dengan Kanker
- Diagnosa HCV Terbaru ; HCV core antigen testing
- Perspektif Laboratorium Profesional Tentang "Krisis Opioid"
- Pemeriskaan Darah untuk Mendeteksi Protein yang Terkait dengan Alzheimer