Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja dan Dampaknya Untuk Tenaga Kesehatan
Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja dan Dampaknya Untuk Tenaga Kesehatan. Setelah di sahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang pada Senin (5/10/2020) oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna ke-7 masa persidangan | 2020-2021 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Banyak pihak menilai omnibus law akan merugikan tenaga kerja atau buruh. Sebagai tenaga kerja profesional, infolabmed melihat isu nasional terkait omnibus law ini juga akan berdampak pada ATLM yang bekerja di RS Swasta dan pemerintah yang berstatus non ASN.
Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja
Dikutip dari hukumonline.com, Pemerintah mengajukan RUU ini sebagai salah satu jalan keluar mengatasi obesitas regulasi dan mempermudah perizinan berusaha. RUU Cipta Kerja –semula bernama RUU Cipta Lapangan Kerja – merupakan salah satu RUU yang disusun menggunakan metode omnibus law.
RUU Cipta Kerja memuat 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal. RUU ini berdampak pada setidaknya 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang. Beberapa ketentuan dari UU Ketenagakerjaaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Penataan Ruang, UU Administrasi Pemerintahan akan dihapuskan. Dalam konsiderannya, RUU Cipta Kerja disusun antara lain untuk menyerap banyak tenaga kerja, kemudahan berusaha, dan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan berusaha.
Dampak Omnibus Law Cipta Kerja bagi Buruh
Dikutip dari Kompas.com, beberapa pasal-pasal bermasalah dan kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Kontrak tanpa batas (Pasal 59)
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
2. Hari libur dipangkas (Pasal 79)
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun. Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3. Aturan soal pengupahan diganti (Pasal 88)
UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja. Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan. Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya. Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".
4. Sanksi tidak bayar upah dihapus (Pasal 91)
Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja. Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.
5. Hak memohon PHK dihapus (Pasal 169)
UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/ buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan. Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam. Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih. Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156. Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebut, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja. Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Omnibus Law Dikeluhkan Pekerja Bidang Kesehatan karena Outsourcing Makin Dipermudah
Apa saja perbedaan aturan yang ada di Undang-Undang Ketenagakerjaan dan RUU Cipta Kerja?
No |
Topik |
Undang-Undang
Ketenagakerjaan |
RUU
Cipta Kerja |
1 |
Waktu
Istirahat dan Cuti |
|
|
Istirahat
Mingguan |
Pasal
79 ayat 2 huruf b UU No.13/2003 (UUK) menyebutkan: |
Draft
RUU Cipta Kerja, aturan 5 hari kerja itu dihapus. Sehingga berbunyi: |
|
Istirahat
Panjang |
Pasal
79 Ayat 2.d UUK menyatakan: |
Draft
RUU Cipta Kerja ini menyerahkan regulasi terkait hak cuti panjang kepada
perusahaan. |
|
Cuti
Haid |
Pasal
81 UUK mengatur pekerja/buruh perempuan bisa memperoleh libur pada saat
haid hari pertama dan kedua pada saat haid |
Draft
RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status
penghapusan dalam pasal tersebut |
|
Cuti
hamil-melahirkan |
Pasal
82 UUK mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan. Di
dalamnya juga termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang
mengalami keguguran |
Draft
RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status
penghapusan dalam pasal tersebut |
|
Hak
untuk Menyusui |
Pasal
83 UUK mengatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu
harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus
dilakukan selama waktu kerja. |
Draft
RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status
penghapusan dalam pasal tersebut |
|
Cuti
Menjalankan Ibadah Keagamaan |
Pasal
80 UUK menyatakan: |
Draft
RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan pembahasan, perubahan atau status
penghapusan dalam pasal tersebut |
|
2 |
Upah |
|
|
Upah
satuan hasil dan waktu |
Tidak
diatur dalam UUK sebelumnya |
Adanya
upah satuan hasil dan waktu. |
|
Upah
Minimum Sektoral dan Upah Minimum Kabupaten/Kota |
Upah
minimum ditetapkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Sektoral.
Berdasarkan Pasal 89 UUK, setiap wilayah diberikan hak untuk menetapkan
kebijakan Upah minimum mereka sendiri baik di tingkat provinsi dan
tingkat Kabupaten/Kotamadya. |
Meniadakan
upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMK), upah minimum sektoral
kabupaten/kota (UMSK), sehingga penentuan upah hanya berdasarkan Upah Minimum
Provinsi (UMP) |
|
Bonus |
Tidak
diatur dalam UUK sebelumnya |
Memberikan
bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai dengan masa kerjanya.
Bonus tertinggi senilai lima kali upah bagi pekerja yang telah bekerja selama
12 tahun atau lebih. |
|
Perbedaan
Rumus menghitung upah minimum |
Rumus
yang dipakai adalah UMt+{UMt, x (INFLASIt + % ∆ PDBt )} |
Rumus
yang dipakai adalah UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt) |
|
3 |
Pesangon |
|
|
Uang
Penggantian Hak |
Diatur
dalam pasal 156 (4) UUK |
Tidak
adanya uang penggantian hak |
|
Uang
Penghargaan Masa Kerja |
Diatur
dalam pasal 156 (3) UUK |
Uang
penghargaan masa kerja 24 tahun dihapus. RUU Cipta Kerja menghapus poin H
dalam pasal 156 ayat 3 terkait uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang
memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih dimana seharusnya pekerja/buruh
menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah. |
|
Uang
pesangon |
Pasal
161 UUK menyebutkan : |
•
Menghapuskan uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat
peringatan. Padahal dalam UU Ketenagakerjaan pasal 161 menyebutkan
pekerja/buruh yang di PHK karena mendapat surat peringatan memiliki hak
mendapatkan pesangon. |
|
4 |
Jaminan
Sosial |
|
|
Jaminan
Pensiun |
Pasal
167 ayat (5) UUK menyatakan: |
Menghapus
sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam
program jaminan pensiun. |
|
Jaminan
Kehilangan Pekerjaan |
Tidak
diatur dalam UUK sebelumnya |
Menambahkan
program jaminan sosial baru yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola
oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan prinsip asuransi sosial |
|
5 |
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) |
|
|
Alasan
perusahaan boleh melakukan PHK |
Melihat
pada UU Ketenagakerjaan, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK
seperti: |
RUU
Cipta Kerja menambah 5 poin lagi alasan perusahaan boleh melakukan PHK,
diantaranya meliputi: |
|
6 |
Status
Kerja |
Pasal
59 UUK mengatur Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) terhadap pekerja itu
maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam
waktu 1 tahun. |
Menghapus
pasal 59 UUK yang mengatur tentang syarat pekerja waktu tertentu atau pekerja
kontrak. Dengan penghapusan pasal ini, maka tidak ada batasan aturan
seseorang pekerja bisa dikontrak, akibatnya bisa saja pekerja tersebut
menjadi pekerja kontrak seumur hidup. |
7 |
Jam
Kerja |
Waktu
kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu. |
Draft
RUU Cipta Kerja berencana memperpanjang waktu kerja lembur menjadi maksimal 4
jam per hari dan 18 jam per minggu. |
8 |
Outsourcing |
Aturan
UU penggunaan outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha
pokok. |
RUU
Cipta Kerja akan membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing untuk
mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan
pekerja penuh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin
bebas. |
9 |
Tenaga
Kerja Asing |
Pasal
42 ayat 1 UUK menyatakan: |
Dalam
RUU Cipta Kerja, izin tertulis TKA diganti dengan pengesahan rencana
penggunaan TKA |
Pasal
43 ayat 1 Pemberi kerja yang menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki
rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat
yang ditunjuk. |
Pasal
43 mengenai rencana penggunaan TKA dari pemberi kerja sebagai syarat mendapat
izin kerja dimana dalam RUU Cipta kerja, informasi terkait periode penugasan
ekspatriat, penunjukan tenaga kerja menjadi warga negara Indonesia sebagai
mitra kerja ekspatriat dalam rencana penugasan ekspatriat dihapuskan |
||
Ppasal
44 ayat 1; Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati
ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. |
Pasal
44 mengenai kewajiban menaati ketentuan mengenai jabatan dan kompetensi TKA
dihapus. |
Download : RUU Cipta Kerja (Baleg DPR PDF)
Post a Comment